SEJARAH DAN ASAL MUASAL MELAYU RIAU
Suku bangsa melayu Riau adalah penduduk propinsi Riau yang secara
historis sebenarnya adalah hasil pembauran lama antara bangsa Melayu
Tua (Proto Melayu) yang mula-mula mendiami daerah ini dengan suku
bangsa Melayu Muda (Deutro Melayu) yang datang kemudian, mereka
Referensi : Pengantar pada buku Busana Melayu (Pakaian Adat Tradisional
Daerah Riau) karya M.A Effendi, BA, dkk.
Suku bangsa melayu Riau adalah penduduk propinsi Riau yang secara
historis sebenarnya adalah hasil pembauran lama antara bangsa Melayu
Tua (Proto Melayu) yang mula-mula mendiami daerah ini dengan suku
bangsa Melayu Muda (Deutro Melayu) yang datang kemudian, mereka
mendiami daerah pantai dan tepian sungai besar dan kecil. Di daerah ini
suku Melayu Riau merupakan pendukung kebudayaan melayu, yang
sebelumnya dipengaruhi agama Budha, Hindu dan yang paling akhir agama
Islam dari kerajaan-kerajaan yang terdapat di daerah ini, antara lain
kerajaan Riau Lingga, Kerajaan Siak Sri Indrapura, Kerajaan Indragiri,
Kerajaan Pelalawan dan lain-lainnya.
Unsur Islam dengan segala manifestasinya dibawah raja-raja Riau Lingga,
Siak Sri Indrapura, Kerajaan Pelalawan, dan lain-lainnya itu berpusat di
Kepulauan Riau, yaitu pulau Biram Dewa, pulau Penyengat, dan Daik Lingga,
serta Siak Sri Indrapura, Rengat dan Pelalawan. Sedangkan unsur-unsur
barat yang diperkenalkan oleh bangsa Portugis, Inggris, Belanda antara lain
dalam bentuk ekonomi serta mata uang dan pendidikan dengan sistem
barat, seperti HIS, MULO dan sebagainya. Perpaduan antara unsur-unsur
tersebut dengan keadaan geografis alamnya telah melahirkan kebudayaan
Melayu Riau dengan unsur-unsur dominan, yaitu bahasa Melayu Riau,
Agama Islam dengan kebudayaan pantai dan tepi sungai yang memberikan
ciri khas kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah ini. Hal ini
disebabkan oleh laut dan sungai memegang peranan penting di masa itu
hingga saat ini.
Mata pencaharian utama penduduk Melayu Riau pada saat itu umumnya
nelayan dan bertani dengan menggunakan peralatan tradisional, seperti kail,
pancing, jala, pukat, belat, bubu, togok, kelong dan sebagainya. Sedangkan
para petani menggunakan cangkul, parang, kapak, tajak/cabak dan
sebagainya. Hasil nelayan selain untuk dijual juga dikonsumsi sendiri
sebagai tambahan pengawan nasi atau sagu, sedangkan hasil palawija
lainnya berupa karet, kelapa, buah-buahan dan lain sebagainya. Bangunan
tradisional Melayu Riau umumnya terbuat dari kayu dan nibung, yang
disesuaikan dengan keadaan alamnya karena bahan mudah diperoleh,
dengan beratapkan daun rumbia, nipah dan daun pandan. Bentuk rumahnya
bertiang, guna menghindari pasang surutnya air, serta menghindarkan dari
gangguan binatang buas, dengan atapnya berbentuk limas, lipat kajang,
atau bumbung panjang di diatasnya di tekan dengan belahan nibung atau
anyaman jaring, untuk menjaga keselamatan dari tiupan angin.
Sistem kekerabatan orang Melayu adalah garis ayah, dapat dilihat jika
seorang anak ditanya “kamu anak siapa?”, maka akan dijawabnya dengan
menyebutkan nama ayahnya. Sedangkan sifat kegotong-royongan cukup
kuat dan jelas kelihatan dalam sistem kedesaan, dengan pepatah, “berat
sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Hal ini sangat nyata pada upacara-
upacara adat, misalnya perkawinan, mendirikan rumah, membuka hutan
baru, upacara kematian dan sebagainya. Selain itu dalam tata cara adat
istiadat, dimana yang tua dituakan, yang muda dimudakan, sehingga terjadi
sebutan, abang, adik, yang sulung disebut abang long, abang cik, pak ngah,
pak cik dan sebagainya. Orang yang lebih tua usia atau di tuakan, dianggap
tabu menyebutkan nama aslinya, bahkan duduk makan bersama dalam
suatu majelispun ada tatacaranya, yang muda sama muda dan yang tua
atau dituakan sama tua. Segalanya ini kelihatan dalam lingkungan
kehidupan dan pergaulan masyarakat Melayu Riau. dan keturunan nya menyebar hingga ke Malaysia
suku Melayu Riau merupakan pendukung kebudayaan melayu, yang
sebelumnya dipengaruhi agama Budha, Hindu dan yang paling akhir agama
Islam dari kerajaan-kerajaan yang terdapat di daerah ini, antara lain
kerajaan Riau Lingga, Kerajaan Siak Sri Indrapura, Kerajaan Indragiri,
Kerajaan Pelalawan dan lain-lainnya.
Unsur Islam dengan segala manifestasinya dibawah raja-raja Riau Lingga,
Siak Sri Indrapura, Kerajaan Pelalawan, dan lain-lainnya itu berpusat di
Kepulauan Riau, yaitu pulau Biram Dewa, pulau Penyengat, dan Daik Lingga,
serta Siak Sri Indrapura, Rengat dan Pelalawan. Sedangkan unsur-unsur
barat yang diperkenalkan oleh bangsa Portugis, Inggris, Belanda antara lain
dalam bentuk ekonomi serta mata uang dan pendidikan dengan sistem
barat, seperti HIS, MULO dan sebagainya. Perpaduan antara unsur-unsur
tersebut dengan keadaan geografis alamnya telah melahirkan kebudayaan
Melayu Riau dengan unsur-unsur dominan, yaitu bahasa Melayu Riau,
Agama Islam dengan kebudayaan pantai dan tepi sungai yang memberikan
ciri khas kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah ini. Hal ini
disebabkan oleh laut dan sungai memegang peranan penting di masa itu
hingga saat ini.
Mata pencaharian utama penduduk Melayu Riau pada saat itu umumnya
nelayan dan bertani dengan menggunakan peralatan tradisional, seperti kail,
pancing, jala, pukat, belat, bubu, togok, kelong dan sebagainya. Sedangkan
para petani menggunakan cangkul, parang, kapak, tajak/cabak dan
sebagainya. Hasil nelayan selain untuk dijual juga dikonsumsi sendiri
sebagai tambahan pengawan nasi atau sagu, sedangkan hasil palawija
lainnya berupa karet, kelapa, buah-buahan dan lain sebagainya. Bangunan
tradisional Melayu Riau umumnya terbuat dari kayu dan nibung, yang
disesuaikan dengan keadaan alamnya karena bahan mudah diperoleh,
dengan beratapkan daun rumbia, nipah dan daun pandan. Bentuk rumahnya
bertiang, guna menghindari pasang surutnya air, serta menghindarkan dari
gangguan binatang buas, dengan atapnya berbentuk limas, lipat kajang,
atau bumbung panjang di diatasnya di tekan dengan belahan nibung atau
anyaman jaring, untuk menjaga keselamatan dari tiupan angin.
Sistem kekerabatan orang Melayu adalah garis ayah, dapat dilihat jika
seorang anak ditanya “kamu anak siapa?”, maka akan dijawabnya dengan
menyebutkan nama ayahnya. Sedangkan sifat kegotong-royongan cukup
kuat dan jelas kelihatan dalam sistem kedesaan, dengan pepatah, “berat
sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Hal ini sangat nyata pada upacara-
upacara adat, misalnya perkawinan, mendirikan rumah, membuka hutan
baru, upacara kematian dan sebagainya. Selain itu dalam tata cara adat
istiadat, dimana yang tua dituakan, yang muda dimudakan, sehingga terjadi
sebutan, abang, adik, yang sulung disebut abang long, abang cik, pak ngah,
pak cik dan sebagainya. Orang yang lebih tua usia atau di tuakan, dianggap
tabu menyebutkan nama aslinya, bahkan duduk makan bersama dalam
suatu majelispun ada tatacaranya, yang muda sama muda dan yang tua
atau dituakan sama tua. Segalanya ini kelihatan dalam lingkungan
kehidupan dan pergaulan masyarakat Melayu Riau. dan keturunan nya menyebar hingga ke Malaysia
Referensi : Pengantar pada buku Busana Melayu (Pakaian Adat Tradisional
Daerah Riau) karya M.A Effendi, BA, dkk.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan